Gemblukan, Seni Musik Tradisional dari Sudimoro yang Sarat Sejarah dan Mistis - Lensa Pacitan

Menu

Mode Gelap
Gempa Bumi Terus Terjadi di Pacitan, BPBD Catat 62 Gempa Selama Awal Januari Gebrak Rumah di Ngadirojo, Bersatu Lawan Ancaman DBD 67 Sapi Mati, Kasus PMK Bertambah Jadi 1006 Ekor PMK Ibarat Sariawan, Ini Langkah Mengatasinya Gebrak Kandang di Ngadirojo, Upaya Bersama Tangani PMK pada Ternak Hiswana Migas Ingatkan Pengecer LPG 3 Kg Tidak Naikkan Harga Semena-mena

Headline

Gemblukan, Seni Musik Tradisional dari Sudimoro yang Sarat Sejarah dan Mistis

badge-check


					Gemblukan Tampil diacara Festival Kentong Aji (Foto/ Istimewa) Perbesar

Gemblukan Tampil diacara Festival Kentong Aji (Foto/ Istimewa)

Pacitan – Di tengah derasnya arus modernisasi, seni tradisional gemblukan di Kecamatan Sudimoro tetap bertahan dan bahkan terus berkembang. Seni musik ini tak hanya menghibur, tetapi juga menyimpan sejarah panjang yang menjadi warisan leluhur.

Suweno Eko Pratama (24), seorang pegiat seni gemblukan, menceritakan asal-usul kesenian ini yang berakar pada masa Babad Gunung Suro. Kala itu, seorang leluhur bernama Ki Kromo Mejo menggunakan bunyi tabuhan gembluk untuk memberikan aba-aba dalam melakukan cacah jiwo, atau sensus penduduk, di Desa Klepu, Sudimoro. Sayangnya, masyarakat pada masa itu salah memahami cacah jiwo sebagai tragedi pembunuhan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, seni musik dan tarian gembluk Kromo Mejo pun diciptakan.

Saat ini, gemblukan telah dimodernisasi dengan mengkombinasikan alat musik tradisional seperti tifa, gong, kendang, dan kenong. Setiap pertunjukan melibatkan 12 pemain 6 pria dan 6 wanita yang memainkan alat musik sambil menari dengan penuh semangat, sembari meneriakkan “hosa”.

Baca Juga: Museum Song Terus Pacitan Gelar Pameran Obyek Pemajuan Kebudayaan “Jagat Mbah Sayem”

“Lagu identitas gemblukan Romo Mejo selalu dibawakan dalam setiap pertunjukan. Durasi satu kali pentas bisa mencapai satu jam dengan lima hingga enam lagu,” jelas Suweno.

Namun, ada sisi mistis dari gemblukan yang membuatnya unik. Saat mencapai klimaks, dipercaya ada makhluk gaib yang merasuki beberapa penari, membuat mereka menari dengan gerakan yang tidak terduga.

Para pemain gemblukan mengenakan seragam tradisional berupa iket blangkon berwarna kuning. Riasan mereka pun dibuat unik, menggunakan sabun arang dan gedebog pisang sebagai bahan utamanya, memberikan sentuhan autentik khas gemblukan.

Suweno mengaku senang dengan komitmen Bupati Pacitan yang terus mendorong pelestarian seni budaya lokal. “Kesenian seperti gemblukan ini adalah identitas budaya yang harus kita jaga bersama,” ungkapnya.

Dengan kekayaan sejarah, keunikan musik, dan sentuhan mistisnya, gemblukan tidak hanya menjadi hiburan tetapi juga cerminan budaya luhur masyarakat Sudimoro yang terus hidup hingga kini.

Gemblukan sering kali tampil di berbagai acara di wilayah Kecamatan Sudimoro. Terakhir, seni tradisional ini memukau penonton saat tampil di Festival Kentong Aji beberapa waktu lalu. Kegiatan ini menjadi bukti bahwa gemblukan terus mendapat tempat di hati masyarakat dan mampu menarik perhatian khalayak luas.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Hujan Deras di Ngadirojo, Akses Jalan Desa Tergenang Banjir

2 Januari 2025 - 19:10 WIB

10 Tempat Wisata di Pacitan yang Cocok untuk Libur Nataru

14 Desember 2024 - 17:44 WIB

Pantai Banyu Tibo Donorojo Pacitan

Banjir Lumpur dari Bukit Kiteran Tutup Akses Jalan dan Isolasi 8 Rumah di Desa Wiyoro

2 Desember 2024 - 12:26 WIB

Pembersihan Lumpur dan Pemulihan Akses di Dusun Kaliatas Pacitan

2 Desember 2024 - 09:41 WIB

Wahyu Saptono Hadi Tak Gunakan Hak Pilih, Gagarin Nyoblos di TPS Ngadirojo

27 November 2024 - 13:35 WIB

Trending di Headline