TEGALOMBO – Porang, Komoditas Potensial yang Kini Booming di Pacitan. Porang kini menjadi salah satu komoditas unggulan yang banyak dibudidayakan di Pacitan. Tanaman ini memanfaatkan lahan kritis yang tidak produktif, dengan proses budidaya yang relatif mudah serta cocok untuk segala jenis cuaca dan musim. Bahkan, porang telah menembus pasar ekspor sebagai bahan baku pembuatan mie instan, lem, dan gel.
Seperti yang dilakukan oleh sejumlah petani di Desa Kebondalem, Kecamatan Tegalombo, mereka memanfaatkan lahan setengah kering di kawasan perbukitan untuk membudidayakan tanaman porang. Tanaman ini, yang tergolong baru di Pacitan, langsung menarik minat para petani, terutama di wilayah dengan kondisi lahan yang kurang subur.
Proses budidaya porang dimulai dari tahap pembibitan, yang umumnya menggunakan tiga metode: bubil katak, umbi kecil, atau bunga. Namun, metode bubil katak kini lebih sering digunakan karena risiko kegagalannya lebih kecil dan biayanya lebih hemat. Setelah tahap pembibitan di kantong plastik, bibit porang kemudian ditanam. Tanaman ini baru bisa dipanen ketika pohon dan daunnya menguning atau mati.
Bagian yang dipanen adalah umbi yang terdapat di pangkal batang di dalam tanah, sementara bubil katak yang tumbuh di atas daun digunakan sebagai bibit untuk budidaya berikutnya. Umbi porang dari petani biasanya dijual kepada pengepul dengan harga sekitar Rp10.000 per kilogram.
Setelah itu, pengepul mengolah umbi porang dengan merajang tipis-tipis menggunakan mesin, kemudian menjemurnya hingga kering. Umbi yang sudah berbentuk lempengan kering (chips) ini dijual ke pabrik pengolahan di Madiun dengan harga sekitar Rp70.000 per kilogram. Dari pabrik, produk porang ini kemudian dikemas untuk diekspor ke berbagai negara seperti Jepang, Cina, dan sejumlah negara di Eropa.
Budidaya porang yang menjanjikan ini tidak hanya memberikan nilai tambah bagi petani di wilayah perbukitan Pacitan, tetapi juga berpotensi menjadi penggerak ekonomi daerah melalui ekspor.