PACITAN – lensapacitan.com, Kasus Bayi Stunting menjadi salah satu prioritas Dinas Kesehatan Kabupaten Pacitan. Hal itu diungkapkan dr.Eko Budiono, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pacitan dalam Seminar Remaja Berprestasi Bebas Anemia dan Pernikahan dini di Gedung Karya Darma Pacitan beberapa waktu lalu.
“Kegiatan ini untuk menumbuhkan kesadaran pelajar tentang bahaya anemia dan cara pencegahannya. Mengajak berperilaku sehat dan berpartisipasi mengingatkan teman di sekolah dan lingkungan,” kata Eko.
Dalam Seminar yang diikuti perwakilan pelajar dari 24 Puskesmas sekabupaten Pacitan itu sebagian besar dihadiri oleh remaja putri. Karena remaja putri yang mengalami anemia atau kekurangan sel darah merah berisiko melahirkan anak yang mengalami kekerdilan atau “stunting” dikarenakan defisit gizi.
Remaja perempuan membutuhkan lebih banyak zat besi dibanding remaja laki-laki karena saat menstruasi, zat besi turut keluar bersama darah. Karena remaja perempuan lebih banyak butuh zat besi, hal inilah yang membuat remaja perempuan berisiko kekurangan zat besi, yang ujung-ujungnya jadi anemia.
Selain menstruasi, penyebab anemia pun bisa datang dari berbagai faktor. Misalnya rendahnya asupan makanan yang mengandung zat besi dan vitamin C, terkena cacing tambang yang menyerap darah dalam usus, malaria, melakukan diet yang tidak tepat, suka melewatkan waktu makan, atau suka melakukan olahraga berat.
Lalu apa itu stunting? Apa saja faktor yang bisa menyebabkan seorang anak menderita stunting?:
1. Apa Itu Stunting?
Menurut deskripsi World Health Organization (WHO) stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak dari gizi buruk, infeksi berulang dan stimulasi psikososial yang tidak memadai.
Seorang anak disebut menderita stunting jika tinggi badan mereka sesuai usia di bawah minus dua standar deviasi hingga minus tiga standar deviasi dari median Standar Pertumbuhan Anak yang ditetapkan WHO.
2. Penyebab Stunting
Berdasarkan kerangka kerja WHO ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan stunting pada anak. Beberapa di antaranya adalah:
– Nutrisi yang kurang saat kehamilan dan menyusui.
– Pengetahuan ibu yang kurang tentang gizi.
– Stimulasi dan kegiatan untuk anak yang tidak cukup.
– Sanitasi dan air bersih yang tidak mencukupi.
– Akses terhadap pelayanan kesehatan yang terbatas.
3. Gejala Stunting
Tidak semua anak dengan perawakan lebih pendek dari teman sebayanya mengalami stunting. Menurut Kemenkes, balita yang mengalami stunting bisa diketahui jika saat diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, hasil pengukurannya ini berada pada kisaran di bawah normal.
Selain perawakan tubuh anak yang lebih pendek dari teman-temannya, ada juga beberapa ciri lainnya yang menandakan gejala stunting yaitu:
– Pertumbuhan yang lambat.
– Pubertas terlambat.
– Ketika mencapai usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam.
– Pertumbuhan gigi terlambat.
– Kemampuan fokus saat belajar berkurang.
4. Dampak dan Konsekuensi
Stunting di awal kehidupan anak, mulai dari kehamilan hingga usia dua tahun, bisa mengakibatkan dampak yang signifikan terhadap anak. WHO membagi dampak dan konsekuensi ini dalam dua bagian yaitu jangka pendek dan jangka panjang.
Dampak jangka pendek yang bisa dialami anak antara lain perkembangan kognitif dan pengetahuan yang terhambat serta gangguan kognitif. Selain itu, orang tua juga harus bersiap menghadapi pengeluaran lebih untuk biaya kesehatan anak.