Ngadirojo – Puluhan warga Desa Cangkring tampak sibuk membentuk kolong klitik, camilan berbahan dasar ketela yang menyerupai cincin. Di industri rumahan “Sumber Rejeki,” ini misalnya, membutuhkan sekitar 20 tenaga kerja untuk membuat kolong, dengan tenaga paling banyak terserap saat membentuk kolong dan mengupas ketela.
“Paling banyak memang saat membentuk kolong, lalu saat mengupas ketela butuh sekitar 10 orang,” ungkap Harmini, pengrajin kolong klitik di Desa Cangkring, Kecamatan Ngadirojo, (12/11/2024).
Dalam sekali produksi, Harmini membutuhkan sekitar 4 kuintal ketela. Jenis ketela yang dipakai antara lain ketela kastel, empat bulan, jinten, dan ketela gajah. “Bahan sebanyak itu biasanya menghasilkan kolong sekitar 180 kilogram,” tambah ibu empat anak ini.
Kolong klitik memiliki rasa gurih dan renyah, sehingga pemasaran tidak lagi menjadi masalah bagi Harmini. Para tengkulak dari pasar daerah serta toko oleh-oleh di Pacitan selalu menanti pasokan kolong klitik darinya.
Menurut data dari Pemerintah Desa Cangkring, terdapat 19 industri rumahan pembuat kolong klitik yang tersebar di empat dusun, yaitu Dusun Tegal Arum, Seloharjo, Salamrejo, dan Sidorejo. Usaha ini sudah ada sejak lama, namun belum diketahui secara pasti kapan dan oleh siapa kolong pertama kali dibuat di desa ini.
“Untuk memperluas pangsa pasar, pemerintah desa mulai melakukan branding kolong klitik dengan nama CK Snack (Cangkring Snack). Semua produk kolong di desa kami sekarang diberi nama CK Snack,” kata Sugiyono, Kepala Desa Cangkring.
Dari hasil branding tersebut, pemasaran kolong tidak lagi terbatas pada pasar tradisional dan toko oleh-oleh di Pacitan, tetapi juga merambah mini market, supermarket, bahkan agen di Surabaya.
Dengan berkembangnya industri kolong klitik, ekonomi masyarakat Desa Cangkring kini lebih stabil. Tidak hanya pengusaha yang diuntungkan, namun ratusan warga juga turut berdaya sebagai tenaga kerja di 19 home industri yang ada.