Pacitan – Radio komunikasi menjadi salah satu alat vital dalam penanganan kebencanaan, terutama ketika kondisi darurat di mana moda komunikasi lainnya tidak berfungsi. Diskusi mengenai pentingnya peran komunikasi radio dalam situasi darurat menjadi topik utama dalam kegiatan “Asah Terampil Relawan Komunikasi Radio saat Darurat Bencana” yang digelar di Gedung Dakwah Muhammadiyah Pacitan, Sabtu (12/10/2024).
Agus Hadi Prabowo, pegiat komunikasi yang memiliki pengalaman panjang di dunia radio amatir, menjelaskan kepada puluhan relawan (breaker) mengenai pentingnya komunikasi yang efektif saat darurat bencana.
“Dalam situasi darurat, komunikasi harus singkat, jelas, dan langsung ke intinya. Penggunaan nama samaran atau istilah yang tidak jelas sebaiknya dihindari untuk mengurangi kesalahan interpretasi,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya memeriksa peralatan sebelum digunakan, mengingat kesalahan dalam konfigurasi antara pesawat radio, kabel, dan antena dapat mengurangi daya pancar radio, bahkan menyebabkan kerusakan.
Dalam sarasehan yang digagas oleh Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) tersebut, muncul juga usulan dari Budi, pegiat komunikasi dari Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI), yang berharap Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pacitan menyediakan frekuensi khusus yang digunakan saat keadaan darurat.
“Frekuensi khusus ini akan sangat membantu dalam melaporkan situasi bencana tanpa memandang latar belakang organisasi,” ungkap Budi.
Kepala BPBD Pacitan, Erwin Andriatmoko, yang turut hadir dalam kegiatan tersebut, mengapresiasi peran relawan komunikasi. Menurutnya, pada bencana banjir dan longsor yang melanda Pacitan pada 2017 lalu, relawan radio komunikasi memainkan peran krusial dalam menyampaikan informasi kepada pihak terkait.
“Kita belajar dari peristiwa 2017, betapa pentingnya peran komunikasi radio dalam situasi darurat. Saya berterima kasih atas komitmen dan semangat para relawan,” kata Erwin.
Praktisi komunikasi, Purwoto Sumodiharjo, juga menilai bahwa meskipun radio komunikasi memiliki keterbatasan, seperti hanya mampu menyampaikan informasi suara, alat ini tetap menjadi opsi terbaik dalam situasi bencana karena tidak bergantung pada listrik atau jaringan internet.
“Radio komunikasi hingga saat ini masih menjadi sarana yang cepat, murah, dan efektif. Kuncinya adalah menggunakan bahasa yang singkat, padat, dan mudah dipahami,” tambahnya.
“Saya sering menggunakan akronim KISS (Keep It Short and Simple) but clear,” imbuh jurnalis yang juga mahasiswa jurusan Manajemen Bencana UPN ‘Veteran’ Yogyakarta.
Kegiatan ini diikuti oleh berbagai elemen relawan dari Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia (ORARI), RAPI, Senkom Mitra Polri, SAR MTA, dan relawan lainnya se-Kabupaten Pacitan, sebagai upaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana di masa depan. (not)