PACITAN – lensapacitan.com, Keberadaan minyak goreng (migor) seperti hantu. Dipasaran kebutuhan pokok itu menghilang dari peredaraan. Kalaupun ada harganya mahal, beberapa ribu diatas harga tertinggi yang dipatok pemerintah. Membuat para pembeli hingga pedagang kelimpungan.
Joko Purnowo salah seorang pedagang pasar Arjowinangun mengatakan, stok migor di kiosnya terbatas. Pun, hanya merk-merk tertentu yang masih tersisa. Itupun bukan produk terkenal yang ramai dibeli warga. Sebaliknya, barang dagang berlabel populer tak lagi mampu dijumpainya, termasuk kiriman dari distributor yang ikut macet. Kemarin ada kiriman minyak goreng dari distributor, tapi cuman dua karton itupun harus dibagi satu pasar, ungkap Joko
Kondisi tersebut, lanjut Joko membuat dirinya kebingungan. Ditengah desakan menurunkan harga eceran tertinggi (HET) minyak, keberadaannya justru alami kelangkaan. Pun mau tak mau, dia mesti menjual sesuai harga barang serta kebutuhan. Meskipun, seiring kenaikan pasar, komplain dari pembeli saban hari diterimanya. Kalau harus jual empat belas (ribu, Red) per liternya sulit, karena kita belinya diatas itu, apalagi stoknya gak ada, terang pria yang puluhan tahun berjualan tersebut
Joko berharap, ada penambahan stok minyak dari pemerintah. Pun, jikalau tak mampu dia berharap adanya pencabutan subsidi HET itu. Minimal, cara tersebut diharapnya bakal menormalkan pasar migor ditingkat bawah. Ketimbang, geliat subsidi justru membuat stok menipis serta mendongkrak harga minyak. Kalaupun disubsidi, gak perlu sebenarnya sampai 5 ribuan itu, dua ribu saja saya kira sudah banyak, tambahnya
Suminah salah seorang pembeli menambahkan, terpaksa membeli minyak goreng di pasar. Meski harga lebih mahal ketimbang stok di minimarket namun stoknya masih mudah dijumpai. Maklum, beberapa kali bolak-balik toko retail dia tak mendapati minyak Rp 14 ribu yang konon dijual. Terpaksa beli mahal, daripada nunggu yang murah gak ada, sementara di rumah harus terus goreng-goreng, keluhnya. (not)