Menu

Mode Gelap
Rem Blong, Pemotor Nganjuk Terjun ke Jurang 10 Meter di Jalur Alternatif Pacitan–Solo 75 Penerima Bansos di Pacitan Ajukan Graduasi Mandiri, 15 KPM Resmi Mundur pada November Paranet Semrawut di Pantai Klayar, Pemkab Pacitan Mulai Lakukan Penataan 45 Desa di Pacitan Gagal Cairkan Dana Desa Tahap II, Ronny Wahyono: “Hak Masyarakat Hilang” Ini Daftar Desa yang Gagal Mencairkan DD Tahap II di Pacitan 25 Ribu Warga Pacitan Dicoret dari BLTS Kesra, Verifikasi Dilakukan di Tingkat Desa

Headline

Gemblukan, Seni Musik Tradisional dari Sudimoro yang Sarat Sejarah dan Mistis

badge-check


 Gemblukan Tampil diacara Festival Kentong Aji (Foto/ Istimewa) Perbesar

Gemblukan Tampil diacara Festival Kentong Aji (Foto/ Istimewa)

Pacitan – Di tengah derasnya arus modernisasi, seni tradisional gemblukan di Kecamatan Sudimoro tetap bertahan dan bahkan terus berkembang. Seni musik ini tak hanya menghibur, tetapi juga menyimpan sejarah panjang yang menjadi warisan leluhur.

Suweno Eko Pratama (24), seorang pegiat seni gemblukan, menceritakan asal-usul kesenian ini yang berakar pada masa Babad Gunung Suro. Kala itu, seorang leluhur bernama Ki Kromo Mejo menggunakan bunyi tabuhan gembluk untuk memberikan aba-aba dalam melakukan cacah jiwo, atau sensus penduduk, di Desa Klepu, Sudimoro. Sayangnya, masyarakat pada masa itu salah memahami cacah jiwo sebagai tragedi pembunuhan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, seni musik dan tarian gembluk Kromo Mejo pun diciptakan.

Saat ini, gemblukan telah dimodernisasi dengan mengkombinasikan alat musik tradisional seperti tifa, gong, kendang, dan kenong. Setiap pertunjukan melibatkan 12 pemain 6 pria dan 6 wanita yang memainkan alat musik sambil menari dengan penuh semangat, sembari meneriakkan “hosa”.

Baca Juga: Museum Song Terus Pacitan Gelar Pameran Obyek Pemajuan Kebudayaan “Jagat Mbah Sayem”

“Lagu identitas gemblukan Romo Mejo selalu dibawakan dalam setiap pertunjukan. Durasi satu kali pentas bisa mencapai satu jam dengan lima hingga enam lagu,” jelas Suweno.

Namun, ada sisi mistis dari gemblukan yang membuatnya unik. Saat mencapai klimaks, dipercaya ada makhluk gaib yang merasuki beberapa penari, membuat mereka menari dengan gerakan yang tidak terduga.

Para pemain gemblukan mengenakan seragam tradisional berupa iket blangkon berwarna kuning. Riasan mereka pun dibuat unik, menggunakan sabun arang dan gedebog pisang sebagai bahan utamanya, memberikan sentuhan autentik khas gemblukan.

Suweno mengaku senang dengan komitmen Bupati Pacitan yang terus mendorong pelestarian seni budaya lokal. “Kesenian seperti gemblukan ini adalah identitas budaya yang harus kita jaga bersama,” ungkapnya.

Dengan kekayaan sejarah, keunikan musik, dan sentuhan mistisnya, gemblukan tidak hanya menjadi hiburan tetapi juga cerminan budaya luhur masyarakat Sudimoro yang terus hidup hingga kini.

Gemblukan sering kali tampil di berbagai acara di wilayah Kecamatan Sudimoro. Terakhir, seni tradisional ini memukau penonton saat tampil di Festival Kentong Aji beberapa waktu lalu. Kegiatan ini menjadi bukti bahwa gemblukan terus mendapat tempat di hati masyarakat dan mampu menarik perhatian khalayak luas.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Mengusung Tema “Sluman Slumun Slamet”, Festival Rawat Jagat 4 Resmi Dibuka Wabup Pacitan

24 November 2025 - 20:35 WIB

Anggaran Rp 565 Miliar Digelontorkan, Pembangunan Sekolah Rakyat Tahap II Pacitan Segera Dimulai

19 November 2025 - 19:53 WIB

Belajar Kepemimpinan Lewat Jejak Sejarah SBY, Peserta Bimteknas Demokrat Tour Museum di Pacitan

27 September 2025 - 17:16 WIB

Mayat Pelaku Pembunuhan di Temon Arjosari Ditemukan di Hutan Pacitan

26 September 2025 - 06:13 WIB

Loket SKCK Polres Pacitan Membludak, Pemohon PPPK Rela Berdesakan

16 September 2025 - 19:35 WIB

Trending di Headline